Oleh: Khairul Amri Hatta
Beberap abad silam, sebuah “Teori” yang berawal dari ketidak jelasan telah membodohi Manusia untuk memperaktekkan tidakan kebengisan yang menelan korban jutaan jiwa manusia, mengundang sejumlah peristiwa paling berdarah dalam sejarah humanitas.
Nazisme, Rasisme, Fasisme, Komunisme, Liberalisme dan Kapitalisme adalah beberapa contoh motivasi ideologi meledaknya peperangan dunia kemarin. Akan tetapi banyak tidak menyangka bahkan tidak percaya jika teori tersebut sengaja dijadikan sebagai ‘Rujukan Ilmaih’ berkedok sains agar memberi jalan bagi ideologi pendukunnya serta meyakinkan para penganutnya dalam melancarkan tindakan anarkis politis.
Teori tersebut akrab dengan sebutan teori Darwin atau Darwinisme yang dipopulerkan oleh seorang biologiwan amatir Charles Darwin. Pada awal kemunculanya, teori ini hanyalah sebatas ”asumsi”, namun terdapat beberapa bukti ilmiah yang sanggup mendukung teori tersebut sehingga asumsi itu dapat diterima. Akan tetapi di masa sekarang, dengan berkembanganya teknologi dan ilmu pengetahuan, Fisika, Biologi, yang telah melahirkan cabang-cabang ilmu seperi Genetika, Mikrobilogi, Biokimia, dll, sehingga mengantarkan manusia kepada pembuktian bahwa teori ini hanya sekedar isapan jempol alias teori palsu, yang terkenal dengan gagasan atheisme dan materialismn yang mengingkari keberadaan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Teori ini mengklaim bahwa adanya proses ”seleksi alam”, perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam, dimana terdapat faktor eliminasi yang dapat menyingkirkanmakhluk yang lemah, dan yang kuat tetap lestari. Sebuah perseteruan dimenangkan oleh yang terkuat, yang lemah akan kalah dan punah. Karena alasan inilah teori Darwin mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa. Bahkan pada awal-awal sejak teori tersebut baru saja didengar, langsung mendapat sambutan hangat di negeri-negeri Barat secara umum, terkhusus lagi bagi Kaum imperialis dan kapitalis. Darwinisme bersama ideologi-ideologi tersebut telah mendoktrin manusia-manusia manjadi buas, melahirkan pertikaian yang membawa bencana, penderitaan, pembantaian, kemiskinan, dan kerusakan dahsyat.
Terlepas dari sejarah panjang teori tersebut, yang menarik dan penting untuk diketahui adalah: Mengapa konsep ilmiah yang tidak absah secara ilmiah itu sangat menarik untuk dijadikan rujukan pembenaran ilmiah oleh para penganut ideologi tertentu ?
kenapa begitu banyak para ilmuwan, politikus, dan pemikir ( baik yang menyadari sisi gelap Darwinisme ataupun tidak, dari dulu hingga sekarang) termotivasi untuk mendakwahkan hipotesa yang masih bersifat kontravesri itu ? seakan hal itu seperti sebuah keyakinan yang wajib diimani.
Kemudian arus laju teori ini dengan capat merambah ke dalam kehidupan sosial manusia sampai ke masalah sejarah, hingga sekarang sejumlah buku-buku karangan, media-media pemberitaan hingga perfileman masih menjajahkan teori ini. Dan sangat disayangkan sebagian pemerintahan di sejumlah negara masih menghalalkan penyebaran Darwinsme di bangku-bangku sekolahan hingga saat ini, tanpa membeberkan kekejaman sejarah kemanusiaan yang ditimbulkan dari teori berbahaya tersebut.
Akan tetapi, bila ditelusuri dan dipelajari lebih lanjut di balik spirit ilmiah tersebarnya Darwinisme sejak awal, kita akan sampai pada fakta bahwa semuanya berawal dari bentuk perlawana para ilmuwan terhadap doktrin-doktrin gereja, dan pihak-pihak agamawan. Pada masa konflik antara gereja, banyak diantara ilmuwan yang dibunuh dan disiksa oleh pihak gereja, maka dengan teori tersebut kerap kali dijadikan kambing hitam sebagai sesuatu yang ”bersifat ilmiah” yang mendorong mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Selain itu, pelestarian Darwinisme juga dipicu dengan motif para kaum penjajah untuk berlomba-lomba merebut dan menguasai wilayah-wilayah bangsa yang lemah, hingga meletusnya era kolonisme, lalu tersebarlah paham tersebut dengan label ”pengetahuan ilmiah” agar mempermudah penerimaannya oleh para masyarakat jajahan.
Beranjak dari teori yang juga menghadirkan klaim bahwa bangsa kulit putih (Eropa) merupakan ras-ras terpilih. Sementara ras Asia dan Afrika telah tertinggal dalam perjuangan untuk mempertahankan hidup, dan tidak lama lagi akan mengalami kekalahan dalam bertahan hidup dan kemudian musnah. Dengan gagasan ini, para penganut Darwinisme terinspirasi untuk membangkitkan kembali paham-paham sesat lainya, seperti sebuah teori yang muncul di pertengahan awal abad ke-20, yang juga sangat terkenal dan didukung oleh banyak pihak, diantaranya berbagai yayasan internasional, perguruan-perguruan tinggi, tokoh-tokoh terkenal mulai dari presiden, ilmuwan, dokter, tokoh masyarakat, para penulis, begitu juga dengan media-media massa yang begitu gencar mengindahkannya.
Basis tujuan konsep teori ini antara lain “memperbaiki” ras manusia dengan memperbanyak jumlah individu sehat, dan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat. Seperti halnya pada hewan jenis unggul dapat dibiakkan dengan mengawinkan induk-induk hewan yang sehat. Beranjak dari teori ini, maka ras manusia pun dapat diperbaiki melalui cara yang sama. Menurut teori ini, dunia membutuhkan semacam kumpulan gen manusia unggulan yang akan menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran.
Margaret Sanger, seorang penganjur teori ini dengan arogant menyatakan, “Memelihara sampah masyarakat dengan mengorbankan manusia yang berguna adalah kekejaman. Perbuatan apa yang lebih biadab selain mewariskan orang-orang dungu itu kepada generasi penerus kita?”
Gagasan itu tidak lain adalah teori Eugenika, pertama kali dilontarkan oleh Francis Galton, ilmuwan terhormat Inggris, yang merupakan sepupu Charles Darwin. Sekali lagi isu yang sifatnya masih dugaan itu ternyata ditanggapi secara luar biasa dikalangan para pemimpin dunia, tokoh-tokoh terkenal, dan para ilmuwan pemenang Nobel, terlebih lagi di kalangan orang-orang Amerika, terlihat ketika teori itu pertama kali dilontarkan, lembaga-lembaga seperti Asosiasi Kedokteran Amerika, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, serta Dewan Riset Nasional (ketiganya lembaga profesi dan keilmuwan yang terhormat di Amerika) mendukung dan mempercayai teori itu, lalu menjadikan landasan hukum yang sah.
Tidak berhenti di Amerika, dukungan berdatangan dari negara-negara lain, termasuk Jerman. Pada akhirnya, pusat riset penelitiannya kemudian dipindahkan ke Jerman. Dan setelah teori Eugenika berpangkal di sana… singkat ceritanya terjadilah teragedi berdarah yang paling mengerikan dalam sejarah.
Sebagai manusia yang hidup di masa sekarang, mungkin di antara kita ada yang tercengang atau bahkan menertawakan teori yang aneh dan konyol semacam ini.
Kita pun tahu dengan pasti bahwa teori yang pernah disambut manis oleh masyarakat dunia ini, hanya sebatas spekulati palsu, seperti halnya Darwinisme. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah mencatat teori ini telah merepotkan dunia selama hampir setengah abad dengan berbagai macam riset, pembuatan produk hukum, sekaligus riuhnya pro-kontra atas isu tersebut.
Mayoritas masyarakat pada masa itu mempercayai isu tersebut, sedangkan orang-orang yang mencoba menentangnya dari golongan minoritas akan mendapat cibiran dan diberi label sebagai orang primitif, kolot, pandir, dll. Lumuran darah jutaan korban pembantaian ummat manusia, telah menjadi bukti nyata catatan gelap sejarah di balik kesetatan teori eugentika, kebohongan besar teori ini telah menimbulkan pembantaian terbesar sepanjang zaman. Perang Dunia II adalah salah satu contoh konkrik dari penyalah gunaan eugenika yang didasari dengan “ideologi pemurnian ras unggul ” atau pemusnahan“ras rendah”, sebuah realitas yang sengaja “disamarkan” oleh sejarah dari mata kita.
Setelah terjadinya peristiwa pembantaian besar-besaran itu, masyarakat Dunia pun mulai menyadari hakekat ilmiah dari kesesatan teori eugenika, Orang-orang yang berada di barisan utama dalam kampanyekan teori ini segera bersembunyi dan tidak lagi membahasnya. Begitu juga media massa yang dahulu aktif meneriakkan isu ini, itu tiba-tiba mengalami lupa ingatan. Jutaan orang yang tewas akibat teori tak berdasar itu telah menjadi aib yang amat memalukan dalam sejarah umat manusia, dan tidak ada satu orang pun yang mau dikait-kaitkan dengan teori itu.
Serupa dengan isu Darwinisme, ternyata di balik dukungan teori eugenika tersimpan motif-motif kepentingan tertentu, para pendukung berupaya menyelaraskan teori ini dengan ideolog-ideolgi mereka, demi melancarkan sejumlah program politik yang berkedok “penelitian ilmiah” dan agar memperoleh aliran dana yang sangat besar dari para sponsor dan yayasan-yayasan tertentu, sekaligus mendapat sebuah “pembenaran ilmiah” untuk menunjukkan bahwa peperangan, penjajahan, dan pembantaian yang mereka lancarkanadalah sebuah kebenaran.
Dan yang paling menyedihkan dari kedua kasus teori Darwini dan Eugenika, bahwa saat itu semua pergerakan-pergerakan yang terinspirasi dari gagasan yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah jelas ini, nyaris tidak ada satu pun arus kekuatan (dari kalangan penguasa, politikus, ilmuwan, dll ) yang menetang dan membantah isu tersebut. Pada waktu itu hampir seluruh dunia berkiblat pada teori tersebut sehingga orang-orang yang mencoba menentang akan dianggap orang aneh.
Akan tatapi, yang paling mengerikan dari semua hal tersebut, bahwa ternyata di era kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini, sebuah “pembodohan ilmiah” serupa dengan skandal sains diatas, sedang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Sebuah isu tentang fenomena alam global yang berpijak pada kesimpulan ilmiah yang kontradiktif, dan hal serupa sekali lagi terulang, arus dukungan dari para pemimpin dunia, tokoh-tokoh terkenal, para ilmuwan, universitas-universitas, yayasan-yayasan internasional, media massa, hingga para aktivis sosial, mengalir sangat deras membiayai berbagai gerakan yang mendukung sebuah isu lingkungan yang kedengarannya sangat mulia, namun pada hakekatnya menyembunyikan agenda busuk dari berbagai oknum tertentu yang terus mempropagandakannya meski harus mengahalakan berbagi cara.
Hingga hari ini, isu tersebut kerap disajikan di bangku sekolahan, mulai dari SD sampai ke jenjang perguruan tinggi, dan lagi-lagi, orang yang mencoba menentangnya akan dianggap aneh, kolot, tolol, bahkan menerima tekanan. Isu ini sangat akrab ditelinga kita, yang sering disebut dengan istilah Global Warming atau isu pemanasan global.
Apakah benar planet Bumi yang kita tempati ini benar-benar sedang mengalami pemanasan ataukah sebalikinya ? yaitu Pendinginan Global ?!!
Agar pembahasan lebih sitematis, tidak membingungkan, maka terlebih dahulu kita fokuskan pembahasan mengenai fenomena iklim di belahan Bumi timur tengah, atau zona geografis negara-negara Arab alias daratan Arab saat ini.
Kenapa harus berpatokan kepada daratan Arab?
Jawabanya karena ancaman perubahan iklim global yang diyakini oleh para Ilmuwan klimatologi ini, akan mengundang kekacauaan dan peperagan dimasa mendatang disebabkan faktor upaya untuk bertahan Hidup, memperoleh sumber energi dan pangan… di saat ancaman “Pendinginan” membekukan hampir separuh bagian Bumi, yang akan mengubah perpetaan Dunia (topografi) serta geopolitik.
Dan hal itu semua sangat berkaitan sekali dengan sabda baginda Rasulullah SAW dalam Hadsitnya yang berbunyi:
َلا تَقُومُ السَّاعَةُ… حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا
“Tidak akan terjadi hari kiamat…hingga danah Arab kembali dipenuhi tetumbuhan dan sungai-sungai.” (HR. Muslim)
BERSAMBUNG…